Kenangan di Serambi Masjid Putri
Pukul lima sore, semua santri putri di sebuah pondok daerah Jepara, pulang dari kelas salaf nya dan berbondong-bondong kembali ke asrama. Di pondok ini mengadopsi pendidikan formal dan non formal. Pendidikan formal terdiri dari Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah, Sekolah Menengah Kejuruan, Ma'had Aly, dan Politeknik. Sedangkan pendidikan non formal terdiri dari Tahfidzul Qur'an dan Salafiyah. Pondok ini adalah pondok tertua di Jepara.
Khariroh namanya, seorang santri putri yang sedang mengenyam pendidikan MA dan juga Salafiyah. Teman-temannya biasa memanggilnya Kharir, dia juga memiliki nama laqob yaitu Khumaira, karena ketika dia tersenyum pipinya selalu nampak kemerah-merahan. Setelah pulang dari kelas salaf dia langsung kembali ke asrama, dengan hati riang karena sudah tuntas hafalan nadzom maqsud, nadzom yang menerangkan tentang kaidah shorof. Sesampainya di kamar, dia langsung menyimpan kitab-kitab kuning yang dipelajari hari ini dan mengambil peralatan mandi untuk mandi sore.
Karena kegiatan pondok yang cukup padat, sangat menguras energi dan pikiran, dari bangun tidur, jama'ah, balahan, sekolah, ngaos Al Qur'an, sekolah salaf, dan beberapa kegiatan sampai pukul sepuluh malam, belum lagi ada kegiatan ghibah bersama teman-temannya, terkadang sampai pukul satu pagi. Definisi ghibah nya Kharir dan teman-temannya sedikit berbeda dengan definisi ghibah pada umumnya. Dalam forum ghibah itu mereka membicarakan kenapa ada mubtada' selalu ada Khobar, kenapa ada Fa'il selalu ada fi'il, kenapa ada huruf syarat selalu ada jawab syarat. Terkadang ada perbedaan pendapat, dan menjadi perdebatan diantara mereka. Sehingga forum ghibah itu menjadi sangat seru sekali.
Selesai mandi Kharir, dia bangga kan udah mandi, segar, wangi, rencana nya habis mandi langsung menuju kamar untuk leyeh-leyeh, baca-baca buku, novel, tidur-tiduran sambil menunggu adzan magrib. Tapi sampai di lobi asrama ada Nisa yang mengajaknya untuk tadarusan ke masjid.
"Rir, ayo tadarusan ke masjid". Ajak Nisa "Iya, ayo Nis, tapi mau ke kamar dulu naruh ini". Jawabnya sambil memperlihatkan seperangkat alat mandinya. "Lha mukena sama Al Qur'an mu mana?". "Udah di masjid". "Ya udah, tak tunggu disini". Kharir berjalan menuju kamar dan menaruh seperangkat alat mandinya di bawah lemari. Dia kembali ke lobi kerena sudah di tunggu Nisa di sana. "Ayo Nis!". Ajak Kharir sesampainya di lobi. Mereka pun berjalan menuju masjid yang ada di samping asrama. "Nisa.. Kharir.. tunggu!! aku mau ikut". Panggil mbak Jeje. Mereka berdua menoleh ke belakang. "Iya mbak Jeje yang cantik". Jawab Kharir dan Nisa kompak, mbak Jeje hanya tersenyum cengengesan.
Jarak asrama ke masjid tidaklah jauh, mungkin sekitar dua puluh langkah. Mereka bertiga menuju serambi masjid bagian utara yang dekat dengan asrama. Angkatan mereka bisa dikatakan penguasa serambi utara masjid. Karena setiap hari mereka selalu mengadakan kegiatan ghibah di serambi utara masjid putri. Bahkan roisul maskan pondok putri Bapak Nurdin sampai hapal dengan kebiasaan angkatan mereka. Mulai dari guyonan, ghibah, diskusi, sampai tiduran di sana beliau hapal. Maka dari itu Pak Nurdin sampai membuatkan satu saluran kran air disekitar serambi itu. Entah apa tujuan beliau membuat saluran kran air itu untuk mereka.
"Kamu wudhu dulu Rir". Ucap mbak Jeje sesampainya dia di kran air itu. "Tadi aku udah wudhu mbak". Balas Kharir dari serambi masjid. "Ya udah aku tak wudhu dulu, lha Nisa udah wudhu belum?". "Udah mbak katanya". Dibalas anggukan oleh mbak Jeje. Selesai wudhu mbak Jeje menuju serambi masjid dan memakai mukena nya dan mengaca.
"Ngaca terus mbakk, udah cantik kok.. nanti cermin nya kalah saing lho". Ledek Kharir ke mbak Jeje. "Hehh ngak, ini lho mataku ada beleknya". Balas mbak Jeje. "Hehehe memang ya.. mar'ah sama mir'ah tidak bisa dipisahkan". Sahut Nisa. "Iya Nis, memang sudah menjadi satu kesatuan, yang tidak bisa dipisahkan". Mereka pun tertawa bersama. Hal yang sangat sederhana bisa membuat mereka tertawa bahagia.
Di pertengahan tadarus, Kharir melihat mbak Jeje melamun, pandangannya mengarah ke jalan kenangan, jalan perbatasan asrama dengan madrasah. "Mbak Jeje halo? Jangan melamun mbak! Kang Supra Merah nggak bakalan lewat mbak, dia lagi pergi ke Kudus, jadi jangan diharapkan kalo dia lewat". Ledek Kharir cengengesan. "Heyyy siapa yang nungguin dia lewat, aku lagi mikir tugas, nggak mikirin dia". "Halah yang bener mbak". Kharir masih setia menggoda mbak Jeje. "Mbak Jeje remen kaleh kang Supra Merah iku tanpa syarat ya mbak". Sahut Nisa. "Maksudnya Nis?, Aku ngak remen Nis sama dia Nis". "Ya maksudnya.. senajan motor yang dia miliki cuma Supra Merah, nggak motor Vario ataupun n-max dan lain sebagainya, mbak Jeje nggak mempersalahkan itu, juga senajan dia pesek, mbak Jeje juga nggak mempersalahkannya". "Iya, betul sekali Nis, kata lainnya cinta tanpa syarat". Tambah Kharir. "Hehh sudah-sudah, kasian Jeje itu lho.. Wajahnya merah semua". Ucap Ningrum bestinya Mbak Jeje, dia sudah di serambi dari tadi sebelum Kharir, Nisa, mbak Jeje datang. "Tapi memang sudah jadi rahasia umum sih Je, mungkin seangkatan sudah pada tahu, kalo kamu remen kang Supra Merah". Imbuh Ningrum. "Kamu itu.." mbak Jeje sudah tak bisa berkata-kata, mati kutu dia, dan wajahnya tambah merah. Kharir, Ningrum, sama Nisa hanya tertawa cekikikan. "Sudah-sudah kasian mbak Jeje, kang Bekbek mau adzan ayo persiapan jama'ah magrib". Ucap Nisa agar mengakhiri percakapan itu dan persiapan jama'ah. Adzan magrib berkumandang, semua santri persiapan untuk jama'ah sholat magrib.
Di serambi itu, menjadi saksi bisu akan perjuangan Kharir teman-temannya. Mereka belajar, diskusi, hafalan atau lalaran nadzom ataupun yang mengambil program tahfiz menghafal Al Qur'an, memahami dan mereteli setiap kalimat-kalimat yang ada di dalam kitab syarah Fathul Qorib, yang menjadi ujian terakhir mereka di pondok ini. Canda tawa mereka selalu menghiasi serambi itu. Tapi sekarang serambi itu tidak seramai dulu, tidak ada gurauan, canda tawa mereka lagi. Serambi itu menjadi sepi setelah haflah akhirussanah angkatan mereka.
Mungkin saat ini mereka sangat sibuk dengan urusan masing-masing, menikmati kerasnya kehidupan setelah lulus dari Madrasah Aliyah. Ada yang sibuk menghafal hadits Shohih Bukhori, didalam kitab hadits itu, terkadang ada redaksi hadits nya sedikit, tetapi sanad haditsnya bisa sampai tiga baris bahkan lebih, yang dulunya mengikuti program tahfiz sekarang masih mempertahankan dan menambah hafalan ayat Alquran nya. Ada yang sibuk menghitung uang-uang yang ghoib, ada yang sibuk mendengarkan cerita asbabun nuzul Al Qur'an, ada yang asyik dengan pelajaran suntik menyuntik orang, bahkan ada yang sibuk mempelajari dan memahami kejadian di masa lampau. Yang paling istimewa adalah ada yang sudah mengamalkan ilmu yang dia punya di madrasah dinniyah, sambil menambah hafalan ayat Alquran nya, dan masih setia menunggu orang yang dia remeni pulang dari mondoknya. Mereka sedang berjuang keras untuk untuk meraih mimpi mereka masing-masing. Mereka masih berjalan bersama tetapi dijalan yang berbeda-beda.
14–Maret– 2022, Pecangaan Jepara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar