Minggu, 31 Maret 2024

30 Desember

 

Oleh: Dewi Analisa Nurul Khusna


Belajar menghargai ketulusan cinta, itulah yang membawa semangatku, untuk bangkit kembali… Meski selalu tertatih, bangkit dan terus bangkit lagi, tuhan pasti punya cara sendiri untuk menuntunku kepada cinta yang sesungguhnya, aku percaya itu.

Hari begitu cerah, angin berhembus lembut membawa kesejukan hati, bayang pepohonan rimbun menghampiri ketenangan jiwa.. Tapi tidak untuk hati dan jiwaku, 30 Desember… Di bawah sebuah pohon flamboyan, di taman kampus, aku terduduk diam tanpa kata, menatap jauh ke depan, ku

hirup udara sejuk angin sore waktu itu, berharap akan menemukan ketenangannya, namun yang kurasa hanya sakit yang teramat sangat, setelah lama mengurung hatiku pada cinta yang terbagi, akhirnya baru kusadari betapa dalamnya cinta itu telah melukai hati ku…

30 Desember, akhir dari kisah ku dengannya, sedang awal tahun ke-4 dari kisah nya dengan yang lain. Tersenyum, ku coba mengukir sebuah senyuman di bibir, seolah aku adalah orang yang paling tegar, kuat, dan aku adalah orang yang tak akan jatuh begitu saja.. Tapi, tidak… Aku akui saat itu aku benar-benar terluka.. aku terpuruk dan Aku telah hancur.. Tahan, ku tahan air mata ini, aku tak ingin terlihat lemah lagi, aku bukan orang seperti ini. Tapi saat itu entahlah..? Ku biarkan saja air mata ini jatuh dan terjatuh, biarlah nantinya jadi penyesalan tak terlupakan.

Meski saat itu aku terluka, aku sakit, bahkan rasanya ingin mati, aku tak ingin menyesali keputusanku.. Tidak tidak akan kusesali!

Entah mana yang lebih sakit, melihat ia perlahan menuju cintanya, atau bertahan tanpa status apa- apa. Yaa, aku mengikhlaskannya bersama orang lain. Hidup bahagia bersama kekasih lamanya.

Aku masih ingat ketika pertemuan itu, ia meminta dukunganku untuk merelakannya bersamanya, Tentu saja aku mengizinkan, betapa bodohnya jika aku tetap menahannya disini sementara hatinya untuk orang lain.

Katanya, perasaan padanya masih tetap sama, sama seperti sebelum aku datang. Setelah itu, aku tak ingat lagi apa perkataannya. Aku terlalu sibuk mendengarkan isakan tangis di dalam hati. Hatiku menangis meraung-raung saat dia menyebut dirinya.

“Aku menyayangimu” Katanya saat itu. Aku pun demikian halnya, tapi tidak pernah ada satu orang mencintai dua orang sekaligus. Hati pun tidak bisa diisi oleh dua orang yang sangat ingin menempati. “Kamu juga sayang dia kan?” aku membalasnya dengan pertanyaan yang membuatnya berhenti bicara.

Selama beberapa menit, dia terdiam. Matanya menatap nanar jalan yang mulai padat merayap sore. Tak lama kemudian, untuk yang kesekian kalinya, kata-kata itu kembali muncul.

“maafkan aku”,

Aku membalasnya dengan sebuah senyuman. Jujur, aku tak tahu harus berkata apa. Aku sangat ingin bersamanya, lebih lama lagi, menjadi satu-satunya sandaran ketika ia lelah. Menjadi seseorang yang kabarnya selalu ia tunggu-tunggu, yaa.. aku masih ingin seperti itu. Aku masih ingat betul, dia pernah memintaku untuk jangan pergi, Tetap mendukungnya, menjadi penyemangatnya ketika iya

lelah, menjadi perempuan yang sabar menghadapinya, menjadi perempuan yang selalu mengerti keadaannya. Sampai pada akhirnya dia pula yang memintaku untuk pergi, pergi dari kisahnya, pergi dari semua peran itu, ketika waktu telah sadar, saat semua orang memintaku untuk mengembalikannya pada kekasihnya.

Waktu itu aku melihat raut bimbang di wajahnya. Satu sisi rasa yang ia punya pada kekasih lamanya tak pernah padam, tetapi di sisi lain dia tak ingin mengecewakanku. Aku paham betul posisinya.

Berada di antara cinta pertama, dan orang asing yang baru saja membuatnya nyaman. Iya tahu aku

Tidak ada komentar:

Posting Komentar