Tradisi Nyadran

 

Lina Listiani

Istilah nyadran berasal dari bahasa sansekerta ‘‘Sraddha‘‘. Kata sraddha kemudian diubah menjadi Sadran atau Nyadran yang berarti ziarah kubur. Dalam tradisi nyadran, masyarakat memanjatkan doa selamat. Tradisi nyadran awalnya dilakukan sekitar tahun 1284 di Kerajaan Majapahit yang dulunya berarti keyakinan. Dalam melaksanakan nyadran menggunakan pujian dan persembahan sebagai perlengakapan ritual. Tradisi ini pertama kali dilakukan oleh Ratu Tribuana Tungga Dewi sebagai Raja Majapahit pada waktu itu ( Julianto, 2021).

Nyadran adalah sebuah tradisi yang dilakukan oleh masyarakat Jawa menjelang bulan Ramadhan, tepatnya pada bulan Sya’ban dalam kalender Hijriyah atau bulan Ruwah dalam kalender Jawa. Tradisi ini merupakan wujud rasa syukur yang diwujudkan secara bersama-sama dengan berziarah ke makam leluhur di desa setempat. Selain sebagai bentuk penghormatan terhadap leluhur, nyadran juga memiliki nilai keagamaan, yakni sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan serta doa agar terhindar dari berbagai penyakit (Triyoso, 2021)

Tradisi ini memiliki fungsi untuk mengungkapkan makna filosofis serta nilai moral yang menghubungkan individu satu dengan lainnya, sekaligus mengandung aspek spiritual yang mendalam (Effendi, 2009). Tujuan utama dari tradisi ini adalah mendoakan arwah para leluhur yang telah meninggal dunia agar mendapatkan kedamaian di sisi Allah SWT. Selain itu, nyadran juga menjadi pengingat bagi umat manusia bahwa kematian adalah suatu kepastian yang akan dialami setiap orang (Arifah, 2021).

Keberadaan tradisi Nyadran menunjukkan pentingnya memahami identitas nasional dan kesukuan secara mendalam. Dengan pemahaman yang komprehensif, masyarakat dapat menciptakan harmoni di tengah keberagaman budaya dan keyakinan, sehingga memperkuat persatuan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Tradisi ini tidak hanya menjadi simbol penghormatan terhadap leluhur, tetapi juga sebagai sarana mempererat hubungan sosial, menciptakan solidaritas, serta menjaga keseimbangan antara nilai-nilai tradisional dan modernitas dalam kehidupan sehari-hari (Retnasari & Hidayah, 2019).

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Daftar Pustaka

Arifah, D. N. (2021). Relasi Pendidikan Islam dan Budaya Lokal: Studi Tradisi Sadranan. ASNA: Jurnal Kependidikan Islam dan Keagamaan, 3(1), 72-82.

Effendi, O. U. (2009). Komunikasi Teori dan Praktik. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.

Julianto, T., et al. (2021). Local-Social Wisdom in the Nyadran Tradition as a Means of Gathering. Budapest International Research and Critics in Linguistics and Education (BirLE) Journal, 4(2), 830-836.

Retnasari, L., & Hidayah, Y. (2019). Tinjauan Identitas Nasional dan Identitas Kesukuan pada Mahasiswa PGSD UAD Yogyakarta (Studi Kasus Mahasiswa Luar Jawa di PGSD UAD). Jurnal Muslim Heritage, 4(2), 317-334.

Triyoso, J. D. (2021). Makna dan Fungsi Tradisi Upacara Nyadran di Dusun Ngadiboyo, Desa Ngadiboyo, Kecamatan Rejoso, Kabupaten Nganjuk (Tintingan Folklor).

Kataba

KATABA : Komunitas Pegiat Literasi Santri Ma'had Al-Jami'ah KATABA adalah komunitas pegiat literasi di lingkungan Ma'had Al-Jami'ah IAIN Salatiga yang lahir pada 16 Maret 2017. Komunitas ini terbentuk dari inisiatif seorang mahasiswa kelas khusus Internasional (KKI) program studi Pendidikan Agama Islam (PAI) Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga, yaitu Muhammat Sabar Prihatin. Pengalaman dan prestasinya di dunia literasi yang membludak, mulai dari prestasi lokal hingga internasional, membuatnya tergugah untuk menyalurkan bakatnya. Setelah sekian kali mengikuti berbagai event literasi, akhirnya ia merasa terpanggil untuk menciptakan sebuah wadah yang menaungi kompetensi orang lain. Pada suatu event bernama Pelatihan Jurnalistik Santri Nusantara yang diselenggarakan di Jakarta pada tahun 2017, ia merasa terinspirasi untuk menyalurkan bakatnya dengan cara memberi jalan terang bagi mereka yang ingin menemukan potensi diri. Diciptakanlah sebuah komunitas literasi bernama KATABA.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama